Anti HOAX | 4 April 2019 15:45

Terapi Urin

Benarkah Urin dapat digunakan sebagai Obat?

Terapi urin atau pengobatan dengan meminum urin cukup banyak dikemukakan di berbagai media massa seperti televisi, koran, radio, Youtube, dsb. Buku-buku yang mempromosikan urin sebagai obat pun dijual di berbagai toko buku. Di dalam promosinya dinyatakan bahwa urin mengandung zat-zat yang berguna bagi kesehatan manusia, urin seringkali disebut “darah emas” dan “ramuan panjang umur” mengindikasikan adanya potensi terapeutik. Selama ribuan tahun berbagai peradaban (Mesir, Romawi, Yahudi, Yunani) mendokumentasikan adanya praktik terapi menggunakan urin. Namun, seiring dengan perkembangan teknologi dan riset di bidang kesehatan, tampaknya kita perlu mengkaji ulang apakah urin benar-benar menyehatkan atau menyembuhkan?

Asal mula terapi urin dapat dilacak hingga ke praktik pertamanya di India. Damar Tantra, sebuah kitab suci agama Hindu berusia 5000 tahun, mendokumentasikan pendekatan diagnosis dan terapeutik pertama yang menggunakan urin. Kitab Susruta Samhita, dan berbagai Kitab lainnya yang umum digunakan oleh budaya kuno Tibet dan Hunza di India, mendeskripsikan 10 jenis urin berdasarkan perbedaaan tampilannya. Berbagai agama seperti Yahudi dan Katolik merekomendasikan penggunaan urin berdasarkan interpretasi dari kitab suci masing-masing. Berbagai peradaban juga menggunakan urin sebagai dasar diagnosis, dari mulai kehamilan hingga tuberkulosis. Terapi menggunakan urin sendiri pertama kali didokumentasikan di Jepang pada abad ke-14, dimana urin saat itu digunakan untuk mengobati hipertensi, asma, dan diabetes. Pada awal abad ke-18 di Paris, dokter-dokter gigi pada masa itu meresepkan urin pasien sendiri sebagai terapi beberapa masalah gigi dan mulut. Masyarakat Paris pada masa itu juga umum mengonsumsi urin sebagai usaha menghindarkan diri dari wabah penyakit.1

Namun demikian, bukti-bukti terkini  menunjukkan bahwa keamanan dan manfaat terapi urin masih dipertanyakan. Beberapa penelitian menemukan adanya bakteri, sebagian di antaranya bersifat resisten terhadap antibiotik, pada urin manusia dan binatang.2-4 Konsumsi urin unta, yang umum dilakukan di negara Arab Saudi, justru memaparkan konsumennya pada risiko infeksi bakteri bruscella jenis Bruscella dan virus MeRS-CoV.5-8 Penemuan-penemuan ini tidak mengherankan, karena pada semua makhluk hidup terdapat flora normal yang hidup di sekitar organ genitalia. Meminum maupun mengaplikasikan urin pada anggota tubuh seperti mata, kulit, dan rambut meningkatkan risiko terjadinya infeksi berasal dari flora normal tersebut. Dengan demikian, berdasarkan bukti yang tersedia saat ini, dapat disimpulkan bahwa menggunakan urin untuk meningkatkan kesehatan mungkin justru berakibat menimbulkan penyakit.

Meskipun sudah sangat banyak penelitian yang menganalisis kandungan urin, baik urin manusia maupun urin binatang, dalam konteks penerapan urin sebagai pengobatan, penelitian-penelitian tersebut masih bersifat in vitro (percobaan di laboratorium menggunakan sel tubuh manusia) atau in vivo (percobaan di laboratorium menggunakan sel tubuh hewan).9-13  Perlu dipahami bahwa manfaat yang ditemukan pada penelitian in vitro tidak serta-merta membuktikan bahwa urin hewan bermanfaat untuk kesehatan manusia, karena penerapan pada satu sel sangat berbeda dengan penerapan pada tubuh manusia yang terdiri atas sistem-sistem organ yang kompleks. Untuk dapat mengatakan dengan yakin bahwa konsumsi urin adalah tindakan yang aman dan bermanfaat bagi manusia diperlukan penelitian berupa uji klinis, dimana terapi urin tersebut akan dibandingkan dengan suatu pengobatan yang sudah umum digunakan atau dengan placebo, dikaji efeknya pada subjek hewan coba dan selanjutnya diujikan pula pada manusia, meenggunakan kaidah dan proses penelitian yang baik dan benar seperti uji klinis tersamar ganda (RCT).

Referensi:

  1. Savica V, Calò L, Santoro D, Monardo P, Mallamace A, Bellinghieri G. Urine therapy through the centuries. Journal of Nephrology. 2011;24(Suppl. 17):123-125.
  2. Ogunshe A, Fawole A, Ajayi V. Microbial evaluation and public health implications of urine as alternative therapy in clinical pediatric cases: health implication of urine therapy. Pan African Medical Journal. 2010;5(1).
  3. Ahamad S, Alhaider A, Raish M, Shakeel F. Metabolomic and elemental analysis of camel and bovine urine by GC–MS and ICP–MS. Saudi Journal of Biological Sciences. 2017;24(1):23-29.
  4. Schmidt K, Mwaigwisya S, Crossman L, Doumith M, Munroe D, Pires C et al. Identification of bacterial pathogens and antimicrobial resistance directly from clinical urines by nanopore-based metagenomic sequencing. Journal of Antimicrobial Chemotherapy. 2016;72(1):104-114.
  5. Gossner C, Danielson N, Gervelmeyer A, Berthe F, Faye B, Kaasik Aaslav K et al. Human-Dromedary Camel Interactions and the Risk of Acquiring Zoonotic Middle East Respiratory Syndrome Coronavirus Infection. Zoonoses and Public Health. 2014;63(1):1-9.
  6. Omrani A, Al-Tawfiq J, Memish Z. Middle East respiratory syndrome coronavirus (MERS-CoV): animal to human interaction. Pathogens and Global Health. 2015;109(8):354-362.
  7. Samir A, Soliman R, El-Hariri M, Abdel-Moein K, Hatem M. Leptospirosis in animals and human contacts in Egypt: broad range surveillance. Revista da Sociedade Brasileira de Medicina Tropical. 2015;48(3):272-277.
  8. Ali M, Shehata M, Gomaa M, Kandeil A, El-Shesheny R, Kayed A et al. Systematic, active surveillance for Middle East respiratory syndrome coronavirus in camels in Egypt. Emerging Microbes & Infections. 2017;6(1):1-7.
  9. Alhaidar A, Abdel Gader A, Mousa S. The Antiplatelet Activity of Camel Urine. The Journal of Alternative and Complementary Medicine. 2011;17(9):803-808.
  10. Al-Yousef N, Gaafar A, Al-Otaibi B, Al-Jammaz I, Al-Hussein K, Aboussekhra A. Camel urine components display anti-cancer properties in vitro. Journal of Ethnopharmacology. 2012;143(3):819-825.
  11. Romli F, Abu N, Khorshid F, Syed Najmuddin S, Keong Y, Mohamad N et al. The Growth Inhibitory Potential and Antimetastatic Effect of Camel Urine on Breast Cancer Cells In Vitro and In Vivo. Integrative Cancer Therapies. 2016;16(4):540-555.
  12. Funk A, Goutard F, Miguel E, Bourgarel M, Chevalier V, Faye B et al. MERS-CoV at the Animal–Human Interface: Inputs on Exposure Pathways from an Expert-Opinion Elicitation. Frontiers in Veterinary Science. 2016;3.
  13. Abuelgasim K, Alsharhan Y, Alenzi T, Alhazzani A, Ali Y, Jazieh A. The use of complementary and alternative medicine by patients with cancer: a cross-sectional survey in Saudi Arabia. BMC Complemtary and Alternative Medicine. 2018;18(1).

(SSi, CEEBM, 12 Maret 2019)

Share :         

Copyrights 2017 All Rights Reserved by RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.